Sabtu, Februari 26, 2011

Mimpi Itu Pernah Ada

Aku terbangun dari lamunanku. Sekarang aku duduk. Kuambil tasku dan kuambil sebuah benda kecil dari dalamnya. Warnanya silver, terlihat sangat berharga bagiku. Gantungan kunci. Bukan sembarang gantunan kunci untukku, karena di kedua sisinya tertulis "UN", Universitas Nusantara. Kudapat tadi siang dari mahasiswa UN yang mampir untuk sosialisasi, promosi tepatnya, ke sekolah. Di sanalah semua mimpiku berawal.






Akhir-akhir ini semua siswa disibukkan dengan ujian-ujian dan pendaftaran masuk perguruan tinggi. Aku hanya bisa terdiam. Aku tak punya keinginan muluk-muluk seperti mereka. Hanya saja ibuku selalu mampu membangkitkan semangat hidupku. Nasib itu tak terpaut kromosom X maupun Y. Nasib itu tak diwariskan. Kita  sendirilah yang akan menentukan nasib kita sendiri, dengan campur tangan Tuhan tentunya. Kurang lebih seperti itu kata ibuku. Entah kenapa setiap kalimat yang keluar dari bibirnya mampu merasukiku. Hingga aku pun mulai berani merangkai mimpi-mimpi tak nalar dalam kepalaku.






"Yan, sudah kamu putuskan ke mana akan melanjutkan? "


Aku kaget. Tiba-tiba Ibu datang ke kamarku dengan setoples roti yang sepertinya baru kulihat, karena biasanya memang tak ada makanan kecil di rumah.


"Oh,ibu, buat aku bu?"


"Ya tentu, ke mana?"


"UN," kujawab pertanyaanya seraya kutundukkan kepalaku dalam-dalam.


"Oh, belajar dong"


Tangannya yang hangat mengelus kepalaku. Hal yang tak aku bayangkan sebelumnya. Aku pikir Ibu akan langsung menginterupsiku. Nyatanya ia justru tersenyum penuh harap agar aku bisa masuk universitas yang sebagian orang bilang mampu mengantarkan lulusannya menuju kesuksesan. Sekali lagi aku kagum padanya.






Lima tahun lalu ayah pergi,. Kuharap ia sedang menuju surga bersama doa-doa kami, aku dan ibuku. Saat itu kami berada pada titik terendah dalam hidup kami.Bagaimana kami melanjutkan hidup?. Untunglah beberapa bulan kemudian Ibu diterima bekerja di pabrik tekstil berkat ijazah SMK miliknya. Kini jabatannya sudah cukup untuk melanjutkan hidup kami.. Tapi, untuk kuliah?






Ibu selalu melarangku memikirkan masalah keuangan keluarga. "Tak perlu kamu pikirkan, tak percayakah kau pada ibumu ini? Belajarlah! Itu berarti kamu sudah membayar keringat ibu". Aku sangat sadar, biaya kuliah di sana tidaklah sedikit. Lagipula masih ada adikku, Hendra. Tapi aku tak berani menolak kata-kata ibuku. Ibu benar-benar menginginkanku menjadi sarjana. Karena itulah aku benar-benar berusaha untuk tak mengecewakannya. Aku cari info ke sana ke mari agar setidaknya aku bisa mendapat keringanan biaya, tapi hasilnya nihil.






Sebulan lagi tes seleksi masuk dilaksanakan. Aku semakin gugup, tak karuan rasanya. Dan seperti biasa, meski bukan psikolog, kuliah-kuliah ibuku mampu menenangkan jiwaku.


"Iyan, ibu akan sangat bangga kamu bisa kuliah di sana"
"Iya bu,,doakan Iyan"
"Tentu, kamu yang bisa mengubah nasib kita, percayalah usaha dan doa adalah modal kita, tawakal adalah kepasrahan kita"




Aku habiskan tiap malamku untuk bercengkerama dengan Tuhanku, memohon petunjuk. Kupelajari semua materi tes seleksi. Sampai pada tiga hari menjelang pelaksanaan tes seleksi. Tiba-tiba seorang guru kelas adikku datang ke rumah dan mengabarkan bahwa adikku pingsan dan tak kunjung sadar. Ibu langsung meminta pihak sekolah segera membawa Hendra ke rumah sakit. Setelah lama menunggu dokter memanggil ibuku ke ruangnnya. Dokter itu, dengan polosnya memvonis Hendra mengidap kanker otak stadium dua. Saat itu juga Ibu menerima tawaran dokter untuk melakukan operasi pada Hendra.


Aku tahu benar. Saat ini Ibu benar-benar dalam pilihan yang begitu berat. Yang ada dipikirannya hanya Aku dan Hendra. Tapi ibuku orang yang kuat, ia mampu menentukan pilihan sesulit apapun. Tabungan yang  sedianya akan digunakan untuk masuk kuliahku, Ibu gunakan dulu untuk biaya operasi, itupun masih kurang. Aku tertunduk di ujung bangku ruang tunggu. Semua mimpiku seakan sirna, tak berbekas. Tak mungkin aku  tega melihat adikku sekarat. Namun aku sangat ikhlas untuk tak melanjutkan kuliah daripada melihat hal buruk terjadi pada adikku.


Ibuku, yang aku tahu ia pura-pura tabah, menemuiku.
"Maafkan ibu Yan, "
"tak perlu meminta maaf bu, tidak ada yang salah" kupotong kata-kata ibu.
"tapi kamu harus tetap mengikuti tes seleksi itu. Ibu bisa carikan pinjaman untukmu nanti."
"tak perlu bu, Iyan ikhlas."
"tapi ibu yang tidak ikhlas, apapun yang terjadi kamu harus bisa masuk UN".


Aku tak bisa berkata-kata lagi. Tekad ibuku yang begitu kuat mampu menggerakanku kembali merangkai mimpi-mimpiku.




Hari seleksi pun tiba. Aku kerjakan sungguh-sungguh setiap soalnya.
Selesainya aku langsung menuju ke rumah sakit menemani ibuku menunggu Hendra.
"Bagaimana tesnya, Yan?" langsung saja Ibu menanyaiku.
"ya, begitu bu" senyumku mengembang mencoba memberi ketenangan untuk ibuku.
"ya, sebagai manusia yang bisa kita lakukan hanya berusaha dan berdoa, jika kamu menginginkan jalanmu, tentu Allah akan memberimu petunjuk"
"bu, kenapa ibu begitu kuat?"
"tentu, karena ibu punya tiga hati, ibu, kamu, dan Hendra".


Ya Allah, terima kasih kau telah membriku ibu sesempurna ibuku. Batinku dalam hati.


Operasi adikku lancar. Sudah seminggu ia dirawat pascaoperasi. Aku dan ibuku bergantian menjaganya. Sore ini aku ingin pulang sekadar untuk mandi dan mengambil baju ganti Ibu. Sesampai di depan pintu rumah aku terheran melihat amplop cokelat muda tergeletak di sana. Dari UN kubaca. Panggilan, kubaca lagi. Kubaca isinya. Seluruh urat sarafku seakan putus. Aku melumpuh dalam kebahagiaanku. Saat itu juga aku bersujud syukur. Aku diterima. Dengan nilai tertinggi. Universitas memanggilku untuk pengurusan beasiswa penuh. Jelas aku tak jadi mandi. Langsung saja aku kembali ke rumah sakit dan mengabarkannya pada ibuku. Hanya kata “alhamdulillah” yang kami ucap berulang-ulang saat itu. Sampai akhirnya ibuku mampu berkata dalam tangis bahagianya,
"Inilah cara Allah, Yan. Allah menjawab doa kita. Kenapa? karena usaha kita."
Aku hanya mampu tersenyum dalam isak tangis ku. Kupeluk erat-erat sumber inspirasiku, ibuku.
Dua kado terindah dalam hidupku, adikku dinyatakan sembuh total dan aku diterima di UN dengan beasiswa penuh. Tuhan Mahaadil. Tak ada usaha yang sia-sia. Percayalah!.